Selasa, 25 Februari 2014

Alhamdulillah, tadi siang masih bisa melihat suami berangkat jihad (baca: tugas luar kota) dengan senyum terkembang dan mbak Fa juga senyum maniiiis banget pake dadah lagi. Bikin kangen... Smg perjalanannya berkah dan selamat sampai dengan kembali lagi jum'at esok. Aamiiin...

 

Inilah takdir dan saya semakin menyadarinya setelah menikah dengannya. Bahwa cinta itu berwarna, bahwa rezeki itu sudah diatur dan gak mungkin tertukar, bahwa do'a orang tua adalah mustajab, bahwa datangnya anak adalah rezeki. Terlalu banyak "bahwa" yang aku rasakan bersamanya. Dan kali ini, siap tidak siap, mau tidak mau, inilah takdir. Saat waktunya tiba, maka saat itu Alloh akan menunjukkan kuasaNya. Kita hanya berikhtiar dan berdo'a. Karena kesuksesan adalah bertemunya ikhtiar dengan takdir yang telah digariskan di Lauhu Mahfudz. Jalani dengan ikhlas dan semangat karena sesungguhnya setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Amanah yang diberikan oleh Alloh pasti sudah disertakan dengan keberkahan yang akan kita dapatkan jika menjalaninya dengan ikhlas. Bismillah, saja... Itu kata lelaki yang telah mengikrarkan diri untuk menjadi imamku selamanya.

Karena keyakinan berada di qolbu dan kita adalah hamba yang sudah seharusnya meyakini setiap takdirNya.

InsyAlloh kami bisa, karena Alloh Maha Menjaga, Maha segalanya. KepadaNya segala akan kembali. Tentunya semoga dengan bekal amal sholih yang menjadikan Alloh ridlo pada kita. Aamiiin.

 

Padang Aro, menuju Oktober 2014 yang lebih berkah

Untuk suamiku tercinta dan putri pertama kami... Ummi sayang kalian... :* :* :*

Selasa, 11 Februari 2014

Rasa Syukurku...saat kau lahir....

Kontrakan Mungil, 17 Agustus 2013

Bersama si Mbak yang sedang nyenyak bobo, izinkan Ummi yang sedang kangen nulis untuk menengok sejenak laptop ini. Mbak Iffah, ini dia bidadari pertama kami yang kini meramaikan kontrakan mungil ini. ‘Athifah Syauqiyatu Wardah. Rangkaian nama yang akhirnya fix ini bisa jadi karena feeling Abi yang begitu kuat bahwa anak pertama kami adalah seorang perempuan. Dari sejak check up pertama di dokter kandungan, kami sudah membiasakan memanggilnya ‘Athifah. Lucu memang, padahal setiap kali USG si Mbak selalu ngumpet tidak mau diketahui jenis kelaminnya. Bahkan Kakung, Uti, Oma juga Engkongnya merasa yakin bahwa cucu pertama mereka adalah laki-laki. Qodarulloh, semua adalah kekuasaanNya. Mungkin Allah hendak menunjukkan kelak anak kami adalah seorang wanita tangguh yang berjiwa ksatria (tidak kalah dengan laki-laki) tanpa melepaskan kodratnya sebagai wanita. Ini juga yang menginspirasi Abu Iffah dalam merangkai nama putri kami.

ATHIFAH SYAUQIYATU WARDAH (IFFAH) yang berarti Anak Perempuan Buah Dari Rasa Kasih Sayang yang Dirindukan, Laksana Mawar Merah yang Merekah dan Tersirat Oleh Rona Wajahnya. Abi juga membuat akronim untuk Mbak Fa yaitu “hayATHI dan FAHami: SYAhadat Untuk QIta YAkini beTUl, WAhai Ratu DAlam Hatiku (biDAdari Hidupku)” dan “ATHI-hati FitnAH: SYArat Untuk berkahnya rizQI: Yakin dan TUlus; WAhid (satu) RamaDhAn hari lahirnya”

***

Mbak Fa lahir di pekan ke 41 usia kandungan. Pas mundur sepekan dari prediksi bidan. Melahirkan di bidan bukanlah harapanku sedari awal. Impianku, bisa melahirkan di rumah dengan gentle birth habis itu praktekin lotus birth deelel. Tapi Allah Maha Baik. Sebagai seorang PNS baru dan ditempatkan daerah yang tertinggal maka proses kelahiran Mbak Fa adalah sebuah kemudahan yang Allah siapkan untuk kami. Solok Selatan adalah salah satu kabupaten tertinggal di Propinsi Sumatra Barat. Kami tinggal di ibukota kabupaten yang selayaknya memiliki fasilitas kesehatan yang mumpuni. Tapi apa mau dikata, ternyata disini adanya bidan desa dan sebuah puskesmas sederhana. Sedangkan untuk menuju rumah sakit terdekat harus menempuh jarak 35 km dengan jalanan yang masyaAllah.  Pernah suatu kali kami berniat USG di rumah sakit tersebut, sudah satu jam perjalanan dari rumah eh setelah sampai ternyata dokter kandungan hanya datang hari rabu dari jam 10 s.d jam 2 siang. Kami datang hari rabu jam setengah satu siang. Saat itu pendaftaran sudah ditutup. Nyesek juga rasanya. Mungkin belum rezeki kami. Ya itulah sedikit gambaran fasilitas kesehatan di sini.

Mbak Fa sempat merasakan di USG selama dalam peyut Ummi terakhir ketika usia 8 bulan di Padang. Saat itu, Mbak Fa sudah dalam posisi bagus. Dia nelungkup dengan posisi kepala dibawah dan menghadap ke punggung Ummi. Baiklah Nak, kita main tebak-tebakan nih ceritanya. Ummi dan Abi diajak pasrah, perempuan atau laki-laki yang penting sehat. Bener juga, menjelang hari H yang saat itu diprediksikan tanggal 3 Juli 2013, jenis kelamin sudah tak menjadi pikiranku. Yang penting segera lahir.

Seorang teman mengenalkanku dengan sebuah grup FB yang sangat menginspirasi untuk melahirkan normal. Namanya GBUS (Gentle Birth Untuk Semua), dan alhamdulillah semangat dan info-info disana sangat membantuku untuk yakin pada proses kelahiran Mbak Fa.

Kami sudah ikhlas dan plong saat melepas kepergian orang tua yang sudah sepekan menanti kelahiran Mbak Fa, ternyata tak kunjung lahir. Kakung, Uti, Engkong dan tantenya memang sengaja kami datangkan ke Solok Selatan, mengingat diriku masih gamam menjalani Ibu baru. Tentunya dengan pertimbangan nanti kalau lahiran di Jawa harus boyongan bawa bayi merah naik pesawat. Ooow…aku belum berani dan cukup ilmu saat itu. Jadinya keluargalah yang datang jauh-jauh dari Jawa dan pulang dengan kabar hampa, sang cucu yang ditunggu-tunggu belum lahir. Oya, mereka di Solok selatan selama sepekan (30 Juni – 6Juli) dan Mbak Fa lahir tanggal 10 Juli. Tapi kami terutama aku sih santai saja. Ya itu, karena Allah telah menggariskan jalan hidup sekaligus cara lahir tiap manusia. Kita sebagai Ibu hanya sebagai perantara saja, jadi bismillah saja lah. Nanti juga lahir. Yang penting ibu tidak boleh stress.

Selama hamil kami tidak pernah menuruti mitos/ keyakinan-keyakinan yang belum ada dasar ilmiahnya. Kami tetap menjalani hubungan suami istri semenjak awal kehamilan sampai benar-benar enganged. Tidak seperti mitos minang yang katanya tidak boleh sering berhubungan saat usia kehamilan masih muda. Aku juga makan sate kambing dan buah durian. Buah kesukaanku. Aku juga makan sambal. Apalagi masakan minang kebanyakan pedas, pas sekali dengan kesukaanku. Alhamdulillah Mbak Fa sudah terbiasa dengan makanan-makanan itu semenjak dalam kandungan. Tentunya makanlah secukupnya dan tidak berlebihan yaitu makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang.

Selama hamil kami tidak mengonsumsi obat-obatan kecuali terpaksa. InsyaAllah sampai detik ini aku yakin bahwa Allah menciptakan tubuh kita dengan mesin-mesin yang luar biasa baiknya. Aku sangat suka mengonsumsi sari kurma dan susu. Untuk madu aku kurang suka saat itu. Tentunya hal ini bukan berarti kami anti obat-obatan medis ya, karena pegangan kami, obat adalah ikhtiar terakhir.

Selama hamil aku rajin stretching. Ngangkangin kaki kanan dan tekuk kaki kiri. Bolak balik seperti itu. Apalagi setelah masuk bulan ke 8. Alhamdulillah kami tinggal di daerah kebun teh, jadi hampir tiap minggu kami jalan-jalan ke kebun teh. Menghirup udara segar, suasana yang sangat kami rindukan setelah 5 tahun tenggelam bersama polusi di Jakarta. Selain itu, beberapa olahraga ringan yang kubiasakan saat hamil adalah:

  1. Mengepel lantai sambil merangkak sampai usia kehamilan 8 bulan setelah itu mengepel sambil jongkok (cukup males sebenarnya, tapi itu bagus untuk Mbak Fa kenapa tidak?)
  2. Rajin jongkok berdiri-jongkok berdiri bolak balik sesering adanya kesempatan
  3. Senam-senam ringan supaya badan tidak kaku, dan ternyata bermanfaat sekali karena 1 minggu pertama setelah melahirkan kita diharuskan bedrest dengan posisi yang lurus-lurus saja kakinya, tentu ini membuat badan kaku dan pegal kalau tidak biasa olahraga.

Sederhana bukan? Lepas dari semua ikhtiar itu, satu hal yang penting adalah komunikasi dengan calon bayi. Aku sering mengajak Mbak Fa ngaji bareng, murojaah bareng, ngrajut topi bareng, ajak ngobrol sesering mungkin. Yakinlah kekuatan batin ibu dan anak…

Alhamdulillah…alhamdulillah…alhamdulillah… Tiga kalimat tahmid yang kuucapkan seketika jabang bayi itu menghirup udara dunia di detik yang pertamanya. Putri pertama kami terlahir tepat di tanggal 1 Ramadhan 1434 H pukul 13.30 WIB. Lahir sebagai si-Upik dari rantau Minang tepatnya Solok Selatan. Kabupaten dimana kami diamanahkan untuk mengabdi sebagai PNS.

***

            Selasa, 9 Juli 2013 ± pukul 01.06 WIB

            Seperti malam-malam sebelumnya, aku acap kali dihinggapi HIV (Hasrat Ingin Vivis). Namun pagi ini ada yang berbeda, hasrat itu disertai keinginan untuk BAB. Kuperhatikan rentang waktunya. Sampai dengan suami berangkat ke kantor, range mulasku masih sekitar 10-15 menit sekali. Selalu kuingat pesan bu Bidan Pit (1st alternative Bidan): “Datanglah kalau mulasnya sudah dalam rentang 5 menit sekali, mungkin itu sudah pembukaan.” Well, masih 10 menit sekali dan masih bisa diajak untuk bebenah rumah, menyiapkan tas siap bawa. Awalnya aku berencana untuk memasak spesial hari ini karena esok sudah ramadhan, ini adalah makan siang terakhir sebelum puasa Ramadhan. Tapi urung kulakukan karena sejak jam 9 rasa mulasnya semakin intens, sekitar 6-7 menit sekali. Setiap rasa itu datang, kucek ke toilet apakah sudah hadir “tanda cinta” dari ‘Athifah kami. Tapi sampai jam 11 siang belum ada sebercak pun.

            Pukul 12 siang lewat

            Sebelumnya Abi sudah sms bahwa sedang ada rapat struktural di kantor. Baiklah, berarti agak siang pulang istirahatnya. Aku hanya menginfokan bahwa mulasnya sudah mulai sering tapi masih bisa ditahan. Abi akhirnya pulang sekitar jam setengah 1 siang. Setelah makan siang seadanya dan sholat Dluhur, kami berencana untuk ke Bidan Pit.

Setelah mampir ke Riche untuk beli air isi ulang, kami mantapkan untuk mampir di rumah bersalin Bu Pit. Di sana aku cuma dicek tensi dan diminta datang kalau sudah berasa sakit 5 menit sekali. Sepulangnya kami iseng-iseng mampir ke Bidan Lora (beliau adalah ketua Ikatan Bidan Indonesia untuk Kabupaten Solok Selatan). Dengan amanah beliau yang seabrek, jarang sekali kami dapat berjumpa. Itulah mengapa aku tuliskan ‘iseng-iseng’.

 Ruang Periksa Bidan Lora, pukul 14.20

 Seperti biasa, kami belum beruntung karena Bu Bidan sedang memasang “kijing” dan berziarah di makam leluhurnya. Di rumah beliau, kami disambut oleh asisten Bu Lora, seorang bidan muda yang diamanahkan untuk menjaga ruang kerja beliau. Namanya, Bidan Cici. Seumuran denganku. Saat kami datang, Bidan Cici langsung menelepon Bu Lora. Sebelumnya pernah kami sekali bertemu dengan Bu Lora, jadi beliau sudah tahu riwayat kesehatan janinku. Bidan Cici memintaku untuk periksa dalam, berdasarkan rekomendasi Bu Lora. Setelah di cek dalam ternyata sudah bukaan 1. Wow,,,semakin dekat Nak perjumpaan kita… Bidan Cici kembali bertanya ke Bu Lora mengenai hasil cek dalam itu. Beliau merekomendasikan saya untuk tetap tinggal di rumah beliau dengan pertimbangan kontrakan kami yang jauh dan ketiadaan kendaraan roda 4 untuk akses menuju ke bidan yang cukup jauh serta beresiko jika menggunakan motor Kirana kami yang semakin merana. Baiklah, suami segera pulang untuk mengambil tas siap bawa yang sudah kupersiapkan sebelumnya.

Waktu berjalan sungguh lama. Sore itu suami harus kembali ke kantor karena masih ada rapat lanjutan. Sementara aku, dengan ditemani tetangga, menikmati menit demi menit penantian panjang itu (karena ini anak pertama jadi yang aku rasakan kok lama y). Tidak hanya aku, karena ada Uni Epi yang juga tengah menanti kelahiran putra keduanya. Beliau sudah hampir bukaan lengkap saat aku datang. Ternyata benar, pukul 18.05 bayinya lahir dengan normal dan entah berapa jahitan. Yang penting sehat keduanya. Kebahagiaan Ni Epi menjadi semangat tersendiri bagiku meski kontraksi itu semakin intens terasa. Setiap kali kontraksi datang alhamdulillah selalu kuingat asma Allah. Erangan itu ada, namun selalu kuusahakan yang terucap adalah takbir/tahlil saja. Suami datang ketika hari sudah petang, dan malam itu kurasakan malam terpanjang selama hidupku. Rasa sakit yang semakin sering belum berarti pembukaan semakin banyak. Karena ternyata sampai malam sekitar pukul 23.00, kembali Bidan Cici dengan ditemani Bidan Santi, kembali memeriksaku dan ternyata baru bukaan 3. Masya Allah…. Nak, bantu Ummi, turunlah Nak, cari jalan lahirmu… Malam yang dingin menusuk itu adalah malam 1 Ramadhan bagi yang sependapat dengan isbat pemerintah. Selain suami dan Mbak Mimi, ada Kak Silvi, Kak Lusi dan Icha yang menemaniku. Adapun Kak Wira memilih untuk pulang karena ada keluarga yang menantinya untuk sahur pertama di bulan Ramadhan. Merekalah para srikandi yang menemani kami selama 2 hari 1 malam menjelang kelahiran Mbak Fa.

Anda tanya bagaimana kabar suamiku? Beliau adalah manusia luaaar biasaaa sabar yang dengan ikhlas menemaniku, membimbing tiap kali aku merasakan kontraksi. Kontraksi itu memang sungguh nikmat, dan perjuangan itu sampai pada klimaksnya pada pukul 11.00 di tanggal 10 Juli, pembukaan sudah lengkap tapi ketuban belum pecah. Setelah menunggu kurang lebih 15menit, bidan akhirnya memecahkan ketuban Mbak Fa dengan jarum kecil. Cesss…. hangatnya ketuban melecutkan nyaliku, aku semakin yakin bahwa aku bisa melahirkan dengan normal, insya Allah. Tapi ternyata Allah masih mengujiku dengan penantian rasa mengejan. Sampai dengan rabu pukul 12 siang, belum ada hasrat mengejan, dan bidan mengatakan tunggu sebentar jangan dulu mengejan biarkan alami. Sampai akhirnya pukul 12.35 bidan memberiku suntikan induksi supaya rasa mengejan itu datang. Intervensi bidan ini dilakukan karena sudah 1,5 jam ketuban pecah tapi kepala bayi belum juga tampak. Selama 45 menit aku mencoba mengejan 3 kali masih belum berhasil. Beberapa kali saat mengejan, rambut Mbak Fa sudah terlihat, bidan juga mengambil tanganku lalu meletakkan di vagina agar aku bisa lebih kuat lagi mengejan. Kelelahan mulai mendera tapi tidur di pangkuan suami membuatku merasa keluahan lalah itu seperti tidak bersyukur atas nikmat melahirkan. Kami pun kembali berjuang, aku disuruh turun dari ranjang dan olahraga “jongkok-berdiri” beberapa kali sembari disuapi sari kurma untuk menambah tenaga. Finally, alhamdulillah tepat pukul 13.30 WIB di tanggal 1 Ramadhan 1434 H lahirlah ‘Athifah Syauqiyatu Wardah dengan berat badan 3, 85 kg dan panjang 53 cm dengan selamat, normal dan tanpa jahitan. Alhamdulillah ini dia hasil ikhtiarku selama 10 bulan 1 minggu, juga dengan segenap doa dan perjuangan suami serta keluarga semuanya. Waktu melahirkan yang ternyata terbilang normal (2 hari 1 malam) ini membuatku semakin merasa kecil di hadapan Allah. Inilah kelebihan yang diberikanNya untuk menunjukkan betapa mulianya sosok seorang Ibu. Melahirkan adalah moment yang menjadikan diri kita sebagai perempuan untuk semakin bersyukur dan lebih menghargai diri kita. Bagaimana menghargai diri kita? Tingkatkan rasa syukur, menjaga kesehatan dan berbuat yang terbaik untuk anak, suami dan keluarga. Hamil dan melahirkan itu menyenangkan. Jadi ingin nambah nih. Semoga kehamilan dan kelahiran berikutnya senantiasa diberikan kemudahan dan kesehatan juga semoga cita-citaku untuk homebirth, waterbirth sampai lotusbirth bisa terwujudkan. Aamiiin…

Selasa, 04 Februari 2014

Maafkan Ummi, Nak...

Hatiku kembali menangis, ada perasaan campur aduk setelah membaca serentetan komentar dalam suatu status seorang kawan. Obrolan itu berawal dari seorang akhwat yang harus pindah kerja (beserta suaminya) dan sang anak yang sudah terbiasa ikut ke kantor sehari-harinya, kini terpaksa harus di tinggal di rumah. Alasannya karena bu boss beliau melarang untuk membawa anak ke kantor. Sebersit rasa syukur itu sempat datang, mengingat aku masih diberikan kebebasan untuk pulang kapan saja selama pekerjaan selesai. Begitu baiknya ibu kepala kami, terima kasih bu...

 

Tapi sejenak kemudian, kangen itu datang, kangen dan rasa bersalah itu hadir. Seharusnya jam segini mbak Fa sedang asyik2nya belajar merangkak, memegang segala sesuatu disekitarnya, merayap kesana kemari. Seharusnya, aku baru saja selesai meyuapinya, mengajaknya bermain bersama. Seharusnya ini itu... Phfff...Astaghfirulloh... Aku sadar semua ini tidak dapat dijadikan sebuah alasan atau pembenaran atas keputusan yang sudah kami sepakati mengenai pengasuhan anak. Betapa selama gadis bahkan sampai saat hamil mbak Fa, azzam itu masih kokoh, bahwa anakku harus aku yang mengasuh, aku adalah pemimpin bagi rumah tanggaku, bagi anak-anakku. Akulah yang akan mempertanggungjawabkannya. Break dulu...udah sesak banget dadaku...

bersambung....

 

NHW Tahap Ulat: Pekan 6

Lalu kisah kami pun berlanjut... Hallow di Pekan 6 Tahap Ulat. Alhamdulillah semakin menuju ujung tahap ulat nih. Judul besarnya adalah maka...