Hatiku kembali menangis, ada perasaan campur aduk setelah membaca serentetan komentar dalam suatu status seorang kawan. Obrolan itu berawal dari seorang akhwat yang harus pindah kerja (beserta suaminya) dan sang anak yang sudah terbiasa ikut ke kantor sehari-harinya, kini terpaksa harus di tinggal di rumah. Alasannya karena bu boss beliau melarang untuk membawa anak ke kantor. Sebersit rasa syukur itu sempat datang, mengingat aku masih diberikan kebebasan untuk pulang kapan saja selama pekerjaan selesai. Begitu baiknya ibu kepala kami, terima kasih bu...
Tapi sejenak kemudian, kangen itu datang, kangen dan rasa bersalah itu hadir. Seharusnya jam segini mbak Fa sedang asyik2nya belajar merangkak, memegang segala sesuatu disekitarnya, merayap kesana kemari. Seharusnya, aku baru saja selesai meyuapinya, mengajaknya bermain bersama. Seharusnya ini itu... Phfff...Astaghfirulloh... Aku sadar semua ini tidak dapat dijadikan sebuah alasan atau pembenaran atas keputusan yang sudah kami sepakati mengenai pengasuhan anak. Betapa selama gadis bahkan sampai saat hamil mbak Fa, azzam itu masih kokoh, bahwa anakku harus aku yang mengasuh, aku adalah pemimpin bagi rumah tanggaku, bagi anak-anakku. Akulah yang akan mempertanggungjawabkannya. Break dulu...udah sesak banget dadaku...
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar