3 Maret 2015
Pagi yang sejuk. Mengingat semalam sudah diguyur hujan deras. Pastinya pagi ini langit akan cerah dengan kelembutan angin yang merayu rayu diri untuk tak beranjak dari ranjang. Phffuu... Tapi ternyata tidak bagiku. Pagi itu seperti biasa aku hendak mencuci piring sebelum merebus air untuk mandi anak-anak. Ternyata kudapati dua botol ASIP yang masih utuh dengan tutupnya terendam di dalam panci untuk merebus air mandi. Terakhir panci ini dipakai untuk merebus air mandi sore anak-anak oleh pengasuh. Dan kemungkinan besar ASIP itu direndam dengan air panas karena kulihat warna kuning yang terapung di bagian atas ASIP seperti ASIP yang "matang". Tarik napas panjaaang..."hmmm..." geraaam banget sama kelakuan pengasuh yang satu itu. Beliau memang tidak merasa hal itu penting karena latar pendidikan dan kehidupannya yang tidak terbiasa untuk memperhatikan konsumsi sehat untuk anak-anaknya. Namun ini ASIP untuk si kembar dan beliau sudah berpengalaman dengan anak pertama kami tahun lalu. Panas rasanya hatiku dibuatnya pagi itu. Tak lama kemudian, kucek botol2 anak2 yang sudah dicucinya. Benarlah dugaanku, bagian dalam botol masih "anyid". Tarik napas dalam dalam Tika. Tapi tetap saja emosi yang sudah kujaga baik-abaik akhirnya keluar juga sebab disulut oleh sikap Abi yang bersantai-santai yang berujung pada "kepepet"nya waktu. Biasanya jam7 semua sudah ready, kukatakan ready artinya anak-anak sudah mandi, si kembar sudah mimik dan Abi berangkat menjemput pengasuh mbak Fa. Hari itu karena Abi bersantai-santai bangunnya jadi jam7 Iffah beradu dengan Abi masuk kamar mandi. 5 menit kemudian Abi keluar langsung tancap gas menuju tangsi (permukiman buruh kebun teh di daerah kami). Tak lama setelah Iffah selesai kumandikan, pengasuh yang lain sudah bersiap untuk mensetrika baju dan datanglah pengasuh mbak Fa tanpa Abi. Eng ing ong... ternyata beliau diantar oleh anak lelakinya. Sudahlah. Lengkap, bisa ditebak yang terjadi beberapa detik berikutnya. Aku mengomel habis pengasuh mbak Fa. Tapi seketika aku berhenti bicara dan masuk ke kamar si kembar. Aku menangis sejadinya dan segera aku bergegas berangkat ke kantor.
Di jalan bahkan di kantor aku masih saja sesenggukan menangis. Penyesalanku bukan saja karena omelan ke pengasuh tapi penyesalanku harus meninggalkan anak-anak dengan pengasuh di rumah. Bukankah seharusnya aku yang di rumah mengasuh mereka, menyiapkan makan dan minum mereka. Bukankan posisi pengasuh itu seharusnya adalah aku. Aku adalah ummi mereka. Aku yang seharusnya menemani mereka bermain, aku yang seharusnya mendengar lebih banyak celoteh-celoteh anak-anak. Aku.. dalam lubuk ahtiku, aku tidak terima dengan kondisi ini. Aku tidak mau posisiku direbut oleh para pengasuh anak-anak. Aku tidak rela Ya Alloooh... Ampuni hambaMua yang dhoif ini. Ah... sampai saat jari ini menari menuliskan kisah pagi itu, air mataku masih saja menetes.
Seharian kemarin aku tidak bisa konsentrasi. Kepalaku pening sekali. Kucoba lebih lama bersujud dan disanalah aku menemukan ketenangan. Aku coba bangkit dan menelusuri apakah akan terus begini setiap hari? Aku harus bagaimana? Kucoba meraba-raba lagi. Berapa yang harus kubayar dengan pengorbananku melepas status PNS (suatu saat nanti). Kubuka status teman yang resign dari kantor beberapa bulan yang lalu. Jika tetap seperti ini, ada berapa jam dan kepandaian yang dicapai anak-anak dan aku tidak bisa menjadi orang pertama yang menyaksikannya. Harga mahal yang selalu kutangisi setiap gelap tiba dan anak-anak manis terlelap. Namun, apakah saat ini adalah waktu yang terbaik? Diskusikan dulu dengan suami Tik... Tunggu dulu! Siapkan jawaban untuk kemungkinan-kemungkinan pertanyaan yang muncul dari suami.
Saat ini, aku dihidupi oleh suami. Sesuai kesepakatan, gajiku untuk tabungan saja dan digunakan kalau memang kepepet. Selain kami, istri dan anak-anaknya, Abi juga masih ada tanggungan orang tua yang sangat mengandalkan finansial keluarga kami. Bahkan harapanku bisa membantu ibu setiap bulan belum bisa terlaksana karena penghasilanku ya untuk berjaga-jaga. Itu pertimbangan pertama yang harus kujawab sendiri. Bagaimana aku mau membantu kuliah adikku kelak? Kalau berharap pemberian suami, itu akan sulit mengingat ibu mertua sangat tergantung padanya. Siapalah aku, akupun tidak mau mengganggu "hak" beliau. Hal yang kedua perlu kujawab adalah keinginanku kuliah S2. Darimana kudapatkan beasiswa. Saat ini cara termudah ya dengan mengharapkan beasiswa melalui statusku sebagai PNS di instansi ini. Lalu yang ketiga, siapkah aku menghadapi tiga balita dengan seabreg pekerjaan rutinitas rumah yang gak ada habisnya tanpa pengasuh? Karena untuk penghematan, pastilah akan kutolak kalaupun suami kelak menawarkan pengasuh untuk menemaniku. Ah...kegalauan ini selalu saja menggantung!
Kapankah saat itu tiba? Saat kusiap mengucapkan dengan lantang pada suami: IZINKAN AKU RESIGN DARI KANTOR... dan keputusan besar itu akan kupenuhi...
Jawabannya saat ini adalah Wallohu a'lam bishowab. Jalani saja dulu Tika. Apapun yang terjadi, Alloh tak akan dzolim. Alloh pasti telah menakar segala sesuatu dengan proporsional. Maka dari itu bersyukur saja karena perasaan itu masih ada. Bahwa kau masih mengutamakan anak-anak dan keluarga diatas kepentingan kantor. Bersyukurlah bahwa anak-anak masih bisa bertemu dengan Ummi-nya di sela-sela jam kantor. Bersyukurlah bahwa masa kecil anak-anak adalah di nagari ini. Nagari yang dikelilingi sawah, hutan, kebun teh, dengan latar gunung Kerinci. Bersyukurlah kau tak perlu berdesakan di kereta untuk bepergian. Bersyukurlah kau masih bisa berkarya dengan apa yang kau miliki. Bersyukurlah karena ada suami yang ridho padamu. Karena nikmat syukur itu sangat besar. Karena kenikmatan seorang muslimah adalah saat disisinya ada suami sholih dan anak-anak sholihah yang senantiasa mendoakannya setiap waktu. Ahh... Fabiayyi 'ala irobbikuma tukadziban...
[caption id="attachment_305" align="aligncenter" width="300"] Asiyah n Ashilah[/caption]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar