Selasa, 23 Agustus 2016
#Repost:Kujejaki Idealnya Pernikahan, Kurasakan Keberkahan Didalamnya
Berbekal dengan pemahaman tersebut, di usia 20 tahun (sekitar 6 tahun yang lalu) saya dan mungkin beberapa sahabat, juga mendambakan sebuah pernikahan yang ideal. Ideal dari calon, usia, proses dan hasil. Karena pernikahan bukan sarana coba-coba tapi jembatan untuk terbentuknya generasi Robbani. Betul, tidak? Alangkah arifnya jika faktor ideal tersebut dinisbatkan untuk diri sendiri bukan orang lain. Misal, menikah dengan calon yang ideal, bukan berarti kita mencari atau menanti pasangan yang sabar, putih, mancung, sholih/sholihah dan sebagainya. Tetapi, bagaimana kita sendiri bisa disebut calon ideal dengan kriteria pengharapan kita.
Dari keempat kriteria idealnya pernikahan, satu yang menarik bagi saya yaitu ideal dari sisi usia. Kata-kata kejar target atau bahkan kemudaan dan sejenisnya menjadi lekat dengan pertanyaan “kapan nikah” bagi saya. Ya, saya saat itu (sekitar 6 tahun yang lalu) berharap pernikahan berlangsung di usia 22 tahun. Dan Allah meridloinya. Tentu bukan sekedar pengharapan atau target bagi sebagian orang. 22 tahun bagi kehidupan saya merupakan waktu yang ideal. Kenapa? Karena saat itu pada umumnya wanita sudah mencapai gelar sarjananya. Bukan untuk berbangga kepada si calon ya. Setidaknya sudah ada modal ilmu. Walaupun saat itu jurusan saya jauh dari kalimat parenting. Kehidupan kuliah sekaligus berorganisasi dan mengajar privat saat itu membawa saya bertemu dan belajar mengenai hakikat pernikahan. Dari sana mata saya terbuka, bahwa usia bukanlah faktor utama kelanggengan atau keharmonisan rumah tangga. Ternyata banyak pasangan muda dengan bekal ilmu yang memadahi mereka membuktikan eksistensi diri bahwa menikah itu memberdayakan diri, melejitkan prestasi. Tapi ada juga, dengan emosi sesaat, pernikahan dini pun terjadi dan berakhir tragis. Disisi lain, ada wanita dengan usia yang “mumpuni” katakanlah sudah kepala tiga. Dengan kedewasaannya, membimbing dan belajar bersama dengan pasangannya yang terpaut 3-5 tahun lebih muda dan mereka nampak bahagia di usia pernikahan menjelang sewindu.
Jadi, usia berapakah idealnya seseorang menikah? Jawabnya bukanlah kata benda yang menunjuk ke angka. Tapi jawabnya adalah sebuah keinsyafan diri. Menanya sang hati nurani. Sudahkah siapkah ia dengan status barunya kelak? Kesiapan mental bukan pula datang secara tiba-tiba. Ia ada karena ilmu. Ia merasuk di sanubari karena kita paham akan niatnya untuk menikah. Sedari sekarang catat dan tuliskan di atas kertas, niat Anda untuk menikah dan BOLD-kan target kesiapan mental terhadap diri Anda. Bagi saya yang rumahan dan lebih suka kondisi ramai, maka siapkah wahai diri ketika nanti sang suami mancari nafkah sedang kalian berada di tempat yang jauh dari kampung halaman. Siapkah Anda jika ternyata Tuhan meminta Anda dan pasangan untuk lebih bersabar menanti buah hati. Atau sebaliknya, siapkah Anda untuk menjadi calon “kakek/nenek muda”? Karena baru 24 tahun sudah beranak tiga. Itu hanya contoh (dan sedikit curhat). Tentunya semua butuh proses. Okey, fix. Faktor utama niat dan kesiapan psikis (mental).
Selanjutnya, pada catatan saya saat itu, menikah dengan usia ideal (harapan saya saat itu 22tahun) berarti organ tubuh kita terutama organ reproduksi dalam kondisi yang optimal. Namun lagi-lagi, harus ada effort untuk menjaga kesehatan demi kelangsungan pernikahan yang harmonis sehat lahir dan batin. Gaya hidup serta konsumsi makanan yang bergizi menjadi modal yang baik untuk menjejaki mahligai pernikahan. Pernah dengar salah satu ustazah dengan 10 putra/putri penghafal al qur’an? Beliau mempersiapkan rahimnya untuk melahirkan sekian anak dengan cara tidak mengkonsumsi junk-food. Sebuah gaya hidup yang semakin sedikit peminatnya. Selain itu, kebiasaan buruk pun harus di-rem. Termasuk didalamnya, jangan malas mandi. Ada pasangan yang berantakan gegara bau badan. Percaya-gak-percaya silakan dicoba.
Dan yang ketiga adalah mau belajar. Karena pernikahan itu sepanjang usia. Kalau bukan pembelajar sejati maka ia akan dimakan oleh kelelahan. Sementara didalamnya pernikahan membawa banyak pahala. Belajar untuk memahami. Memahami pasangan bagi yang mendahului pernikahan dengan proses pacaran, maka jangan kaget jika banyak perilaku pasangan di pasca pernikahan yang berbeda dengan pra pernikahan. Belajar mencintai (bagi yang pacaran setelah menikah). Kalau kata orang jawa, witing tresno jalaran soko kulino. Cinta datang karena biasa. Biar menjadi luar biasa maka kita harus belajar mencintainya dalam kebiasaan membersamai pasangan. Memahami cara pasangan dalam mencintai kita pun wajib dipelajari. Silakan baca referensi lain untuk hal ini. Banyak pasangan yang hanya mencintai tapi tidak paham wujud cinta dari pasangannya. Ada pasangan yang berhambur kata-kata mesra, ada yang cukup dengan bukti tanpa kata-kata. Belajar memaafkan dan meminta maaf. Seperti dalam persahabatan, ia semakin kuat dengan adanya masalah. Bukan lurus tanpa kerikil tapi yang sukses menyingkirkan kerikil dan menggantinya dengan bebungaan wangi. Belajar memasak, memijit dan mendengar. Tiga kompetensi dasar yang dapat merekatkan hubungan. Walau sekedar basa-basi, memijit menjadi sarana yang tokcer karena ada sentuhan dan belaian sayang. Memasak supaya suami betah di rumah, walau sesekali dinner atau hang-out sangat baik untuk memanjakan istri. Mendengar. Walau laki-laki jarang ada yang cerewet atau curhat duluan tanpa diminta, tapi aspek belajar mendengar ini sangat bermanfaat ketika kita menjadi orang tua. Anak akan semakin akrab dengan kita jika kita menjadi pendengar yang baik bagi mereka. Ya, belajar, belajar dan belajar. Semoga setiap usaha kita dinilai ibadah.
Akhir kalam, bahwa takdir Tuhan adalah yang terbaik, diusia berapapun kita menikah maka itulah kehendak Yang Kuasa. Tugas kita hanya memperbaiki diri dan mengulang kembali tiga hal ideal mengenai pernikahan di atas. Mengulang niat kita, memantapkan mental psikis kita, memperbaiki kebiasaan diri demi kesehatan tubuh, dan buka hati serta pikiran untuk menjadi pembelajar sejati. Semoga pernikahan kita berkah dan berakhir di syurga Firdaus-Nya. Be samara, kawan...
#Harganas2016 #NikahIdeal
Kamis, 11 Agustus 2016
Menapak sakinah menjemput mawaddah bernaung rahmah-Nya
6 Dzulqo’dah 1433 H
Empat tahun silam....
Saat sosok itu dengan lantang menjawab ijab yang diucapkan Bapak. Duduk disebelah sosok misterius itu, kali pertama mendengar suaranya yang merdu tegas dan exclussive (soalnya kami nikah di KUA #mantenNgirit dan disuruh duduk jejeran...wkwkwk...) Setelah akad Bapak berkata tangan Ewis yang agak keringatan dan suara yang lebih lantang dari Bapak sempat membuat bapak kaget. Jujur seperti mimpi. Iya...
Kalau sekedar kenal, sama dengan teman akhwat yang lain. Aku mengenalnya dari sebuah kegiatan Wish Muharrom STIS Tahun 2007 akhir sepertinya. Saat itu masih tingkat 1 dan kami diamanahi menjadi sie Acara. Ke”gokil”an beliau sebenarnya mulai nampak saat itu. Salah satu tema acara kegiatan tersebut dinamainya ALIN yang kependekan dari Aneka Lomba Islami, Nich... Wkwkwk... Aku yang tumpul otak kanannya hanya manut saja. Sudah itu saja kenal awalnya dan semua berjalan biasa saja. Ya yang namanya komunikasi dengan lawan jenis pastinya banyak geramnya (itu aku aja kali ya...). Tapi kalau diingat-ingat lagi, selama satu kepanitiaan dalam organisasi bersama beliau, aku termasuk “dimanjakan”. Biasanya kami para akhwat akan punya konsep sendiri terlebih dahulu dan dibandingkan dengan ikhwan. ‘Lagi-lagi’ biasanyaaa lho yaa (beda tempat beda waktu beda orang bisa beda kondisi).. para ikhwan akan terima “yes”. Tapi kalau dengan beliau dan beliau menjadi “otak”nya suatu kegiatan maka kami akan diberikan draft awal dan dengan sopan beliau minta untuk dikomentari. Hihihi... Ini sudah keliatan beda. Tapi gengsi jiwa akhwat kudu berjalan. Kami pun seperti “bersaing” dalam beberapa kepanitiaan walau lebih sering menang para ikhwan sih (49 gitu lhooo). Itu saja. Kami tidak pernah sekelas walau satu jurusan. Beliau yang “ningrat” dikalangan para ikhwan 49 laksana mercusuar yang menjulang tinggi dengan pendar cahayanya namun sulit untuk menjangkaunya. Hanya sedikit yang aku ketahui tentang beliau karena memang walaupun nampak sersan beliau memang introvert. Dan setelah membersamai beliau seumur jagung ini, banyak peristiwa yang kalau dipikir2 lagi jadi bikin ber-“ooo”. Apaan sih... Yang jelas, jauhlah kualitas beliau dengan punguk bernama Tika ini.
Jazakumulloh khoiiron katsir. Kalimat yang paling tepat saat ini untuk kuucapkan pada beliau. Bukan mudah menerima anak manja bernama Ummi Tiwi (kata iffah) ini. Bukan suatu yang ringan saat Alloh mengijabah doa kami untuk diamanahi (sampai saat ini) tiga orang putri. Banyak linangan air mata, peluh dan doa beliau yang sampai pada ‘Arsy-Nya sehingga sampai detik ini Alloh senantiasa memberkahi hari-hari kami.
Saat berbagai kemudahan menghampiriku, maka mungkin ada do’a orang tua yang membuat Alloh ridlo atau justru keridloan suami yang menjangkau rahmat Alloh sehingga kami bisa melalui semua ini.
Bersama beliau, satu lagi yang baru kupahami secara langsung, bahwa jodoh itu sekufu, bukan berarti kufu dalam pikiran manusia. Tapi sekufu pada visi misi dalam memaknai cita sebuah pernikahan. Aku yang extrovert cerewet dan lebih “open” bertemu dengan yang kata Ustadz Salim “lelaki itu seperti gua”. Saat ia ada masalah bukan bercerita yang diharapkannya namun kesendirian untuk menemukan solusi. Bercerita sebagai conclusion saat binar wajah bisa menjawab segala masalah. Ya... sampai detik ini kami masih saling belajar. Banyak sekali ke-kufu-an yang kami temukan justru bukan menjelang pernikahan tapi pasca menikah. Cara menyikapi perbedaan sampai pada cara merajut impian.
Sampai Alloh hadirkan guru besar kami: Athifah Syauqiyatu Wardah, disusul dengan para mentor sejati kami yakni Asiyah Zhurayfatu Hayfa dan Ashilah Zhufayratu Fayha. Semakin hari, semakin Alloh tunjukkan bahwa keberadaan mereka adalah guru bagi kami. Kami banyak belajar dari mereka. Terutama aku. Suatu hari pernah Abuya menyeletuk, “Ummi sudah lebih sabar ya dibanding dulu kecilnya Iffah”. Langsung yang kujawab, “sabar mananya... masih suka ngomel deeleel..bla...bla...blaa...” Sebenarnya itu apresiasi suami yang melecutkan semangatku justru untuk lebih sabar dalam menemani anak-anak sesuai tuntunan Alloh. Begitulah cara beliau menyanjung dan menyemangati sang istri. Ah... Mas, Anda terlalu istimewa.
Mau sampai ber-paragraf-paragraf tentunya tak akan cukup untuk menuliskan rasa syukurku dalam membersamaimu selama 4 tahun pertama ini. Kalau seperti petuah ibu sebelum menikah dulu, 1 windu pertama adalah masa rentan. Istiqomahlah dan niatkan karena Alloh. Bahkan 1 windu saja baru separuhnya, Ya Robb... rahmati, berkahi... Semoga Alloh menguatkan azzam, cita dan cinta kita lillah...billah...to get mardlotillah until Jannah...
dalam perenungan, Lekok Dalam 6 Dzulqo’dah 1437 H
Dua permata jiwaku... Ibu dan Bunda... tanpa restu mereka apalah kami ini...
Bersama akhwat STIS
Di Baturraden... pasca walimah masih kaku ya gayanya wkwkwk...
secara saat itu berat badanku masih nangkring di kepala 6 lhooo...
Bayi cute ini sekarang sudah makin feminim...qiqiqi...
3 Bayi ku...
Saat menemani Ummi di Bandung
Sebenar2nya ubinan bersama... bersama suami...
Syawal 1437 H
NHW Tahap Ulat: Pekan 6
Lalu kisah kami pun berlanjut... Hallow di Pekan 6 Tahap Ulat. Alhamdulillah semakin menuju ujung tahap ulat nih. Judul besarnya adalah maka...
-
Bismillah... Memasuki pekan ke-5 semakin seru dan makin "ooo... iya juga yaa" atau "ooh ternyata itu ada ilmunya ya..".....
-
Suara adzan bertalu bergilir. Entah berapa makhluk Allah yang telah merasakan ketenangan keteduhan dan kedamaian dari lantunan syurgawi ini....
-
Duhai Athifah, kasih sayang Ummi membersamaimu serasa singkat sekali tak terasa sudah 10 tahun lebih kamu menghiasi hari-hari Ummi Mbak Fa, ...