6 Dzulqo’dah 1433 H
Empat tahun silam....
Saat sosok itu dengan lantang menjawab ijab yang diucapkan Bapak. Duduk disebelah sosok misterius itu, kali pertama mendengar suaranya yang merdu tegas dan exclussive (soalnya kami nikah di KUA #mantenNgirit dan disuruh duduk jejeran...wkwkwk...) Setelah akad Bapak berkata tangan Ewis yang agak keringatan dan suara yang lebih lantang dari Bapak sempat membuat bapak kaget. Jujur seperti mimpi. Iya...
Kalau sekedar kenal, sama dengan teman akhwat yang lain. Aku mengenalnya dari sebuah kegiatan Wish Muharrom STIS Tahun 2007 akhir sepertinya. Saat itu masih tingkat 1 dan kami diamanahi menjadi sie Acara. Ke”gokil”an beliau sebenarnya mulai nampak saat itu. Salah satu tema acara kegiatan tersebut dinamainya ALIN yang kependekan dari Aneka Lomba Islami, Nich... Wkwkwk... Aku yang tumpul otak kanannya hanya manut saja. Sudah itu saja kenal awalnya dan semua berjalan biasa saja. Ya yang namanya komunikasi dengan lawan jenis pastinya banyak geramnya (itu aku aja kali ya...). Tapi kalau diingat-ingat lagi, selama satu kepanitiaan dalam organisasi bersama beliau, aku termasuk “dimanjakan”. Biasanya kami para akhwat akan punya konsep sendiri terlebih dahulu dan dibandingkan dengan ikhwan. ‘Lagi-lagi’ biasanyaaa lho yaa (beda tempat beda waktu beda orang bisa beda kondisi).. para ikhwan akan terima “yes”. Tapi kalau dengan beliau dan beliau menjadi “otak”nya suatu kegiatan maka kami akan diberikan draft awal dan dengan sopan beliau minta untuk dikomentari. Hihihi... Ini sudah keliatan beda. Tapi gengsi jiwa akhwat kudu berjalan. Kami pun seperti “bersaing” dalam beberapa kepanitiaan walau lebih sering menang para ikhwan sih (49 gitu lhooo). Itu saja. Kami tidak pernah sekelas walau satu jurusan. Beliau yang “ningrat” dikalangan para ikhwan 49 laksana mercusuar yang menjulang tinggi dengan pendar cahayanya namun sulit untuk menjangkaunya. Hanya sedikit yang aku ketahui tentang beliau karena memang walaupun nampak sersan beliau memang introvert. Dan setelah membersamai beliau seumur jagung ini, banyak peristiwa yang kalau dipikir2 lagi jadi bikin ber-“ooo”. Apaan sih... Yang jelas, jauhlah kualitas beliau dengan punguk bernama Tika ini.
Jazakumulloh khoiiron katsir. Kalimat yang paling tepat saat ini untuk kuucapkan pada beliau. Bukan mudah menerima anak manja bernama Ummi Tiwi (kata iffah) ini. Bukan suatu yang ringan saat Alloh mengijabah doa kami untuk diamanahi (sampai saat ini) tiga orang putri. Banyak linangan air mata, peluh dan doa beliau yang sampai pada ‘Arsy-Nya sehingga sampai detik ini Alloh senantiasa memberkahi hari-hari kami.
Saat berbagai kemudahan menghampiriku, maka mungkin ada do’a orang tua yang membuat Alloh ridlo atau justru keridloan suami yang menjangkau rahmat Alloh sehingga kami bisa melalui semua ini.
Bersama beliau, satu lagi yang baru kupahami secara langsung, bahwa jodoh itu sekufu, bukan berarti kufu dalam pikiran manusia. Tapi sekufu pada visi misi dalam memaknai cita sebuah pernikahan. Aku yang extrovert cerewet dan lebih “open” bertemu dengan yang kata Ustadz Salim “lelaki itu seperti gua”. Saat ia ada masalah bukan bercerita yang diharapkannya namun kesendirian untuk menemukan solusi. Bercerita sebagai conclusion saat binar wajah bisa menjawab segala masalah. Ya... sampai detik ini kami masih saling belajar. Banyak sekali ke-kufu-an yang kami temukan justru bukan menjelang pernikahan tapi pasca menikah. Cara menyikapi perbedaan sampai pada cara merajut impian.
Sampai Alloh hadirkan guru besar kami: Athifah Syauqiyatu Wardah, disusul dengan para mentor sejati kami yakni Asiyah Zhurayfatu Hayfa dan Ashilah Zhufayratu Fayha. Semakin hari, semakin Alloh tunjukkan bahwa keberadaan mereka adalah guru bagi kami. Kami banyak belajar dari mereka. Terutama aku. Suatu hari pernah Abuya menyeletuk, “Ummi sudah lebih sabar ya dibanding dulu kecilnya Iffah”. Langsung yang kujawab, “sabar mananya... masih suka ngomel deeleel..bla...bla...blaa...” Sebenarnya itu apresiasi suami yang melecutkan semangatku justru untuk lebih sabar dalam menemani anak-anak sesuai tuntunan Alloh. Begitulah cara beliau menyanjung dan menyemangati sang istri. Ah... Mas, Anda terlalu istimewa.
Mau sampai ber-paragraf-paragraf tentunya tak akan cukup untuk menuliskan rasa syukurku dalam membersamaimu selama 4 tahun pertama ini. Kalau seperti petuah ibu sebelum menikah dulu, 1 windu pertama adalah masa rentan. Istiqomahlah dan niatkan karena Alloh. Bahkan 1 windu saja baru separuhnya, Ya Robb... rahmati, berkahi... Semoga Alloh menguatkan azzam, cita dan cinta kita lillah...billah...to get mardlotillah until Jannah...
dalam perenungan, Lekok Dalam 6 Dzulqo’dah 1437 H
Dua permata jiwaku... Ibu dan Bunda... tanpa restu mereka apalah kami ini...
Bersama akhwat STIS
Di Baturraden... pasca walimah masih kaku ya gayanya wkwkwk...
secara saat itu berat badanku masih nangkring di kepala 6 lhooo...
Bayi cute ini sekarang sudah makin feminim...qiqiqi...
3 Bayi ku...
Saat menemani Ummi di Bandung
Sebenar2nya ubinan bersama... bersama suami...
Syawal 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar