Selasa, 23 Agustus 2016

#Repost:Kujejaki Idealnya Pernikahan, Kurasakan Keberkahan Didalamnya

Menikah menjadi sebuah peristiwa yang sakral, ia abadi, pasangan dunia kekasih di akhirat. Dalam kitab suci umat Islam, akad nikah disebut dengan kalimat mitsaqon gholidzo (perjanjian yang agung/berat). Mitsaqon Gholidzo disebut tiga kali dalam al qur’an, yaitu perjanjian Alloh dengan para rosul ulul azmi, perjanjian Alloh dengan bani Isroil dan yang ketiga pernikahan. Ketiganya ialah perjanjian yang kokoh, perjanjian yang berat, perjanjian yang agung. Suatu janji untuk bersama memurnikan ketaatan & kepatuhan pada-Nya semata. Sebuah komitmen untuk menegakkan kalimat-Nya. Suatu janji dan komitmen yang akan ditukar dengan kemenangan di dunia dan/atau hak huni surga-Nya di akhirat kelak.

Berbekal dengan pemahaman tersebut, di usia 20 tahun (sekitar 6 tahun yang lalu) saya dan mungkin beberapa sahabat, juga mendambakan sebuah pernikahan yang ideal. Ideal dari calon, usia, proses dan hasil. Karena pernikahan bukan sarana coba-coba tapi jembatan untuk terbentuknya generasi Robbani. Betul, tidak? Alangkah arifnya jika faktor ideal tersebut dinisbatkan untuk diri sendiri bukan orang lain. Misal, menikah dengan calon yang ideal, bukan berarti kita mencari atau menanti pasangan yang sabar, putih, mancung, sholih/sholihah dan sebagainya. Tetapi, bagaimana kita sendiri bisa disebut calon ideal dengan kriteria pengharapan kita.

Dari keempat kriteria idealnya pernikahan, satu yang menarik bagi saya yaitu ideal dari sisi usia. Kata-kata kejar target atau bahkan kemudaan dan sejenisnya menjadi lekat dengan pertanyaan “kapan nikah” bagi saya. Ya, saya saat itu (sekitar 6 tahun yang lalu) berharap pernikahan berlangsung di usia 22 tahun. Dan Allah meridloinya. Tentu bukan sekedar pengharapan atau target bagi sebagian orang. 22 tahun bagi kehidupan saya merupakan waktu yang ideal. Kenapa? Karena saat itu pada umumnya wanita sudah mencapai gelar sarjananya. Bukan untuk berbangga kepada si calon ya. Setidaknya sudah ada modal ilmu. Walaupun saat itu jurusan saya jauh dari kalimat parenting. Kehidupan kuliah sekaligus berorganisasi dan mengajar privat saat itu membawa saya bertemu dan belajar mengenai hakikat pernikahan. Dari sana mata saya terbuka, bahwa usia bukanlah faktor utama kelanggengan atau keharmonisan rumah tangga. Ternyata banyak pasangan muda dengan bekal ilmu yang memadahi mereka membuktikan eksistensi diri bahwa menikah itu memberdayakan diri, melejitkan prestasi. Tapi ada juga, dengan emosi sesaat, pernikahan dini pun terjadi dan berakhir tragis. Disisi lain, ada wanita dengan usia yang “mumpuni” katakanlah sudah kepala tiga. Dengan kedewasaannya, membimbing dan belajar bersama dengan pasangannya yang terpaut 3-5 tahun lebih muda dan mereka nampak bahagia di usia pernikahan menjelang sewindu.

Jadi, usia berapakah idealnya seseorang menikah? Jawabnya bukanlah kata benda yang menunjuk ke angka. Tapi jawabnya adalah sebuah keinsyafan diri. Menanya sang hati nurani. Sudahkah siapkah ia dengan status barunya kelak? Kesiapan mental bukan pula datang secara tiba-tiba. Ia ada karena ilmu. Ia merasuk di sanubari karena kita paham akan niatnya untuk menikah. Sedari sekarang catat dan tuliskan di atas kertas, niat Anda untuk menikah dan BOLD-kan target kesiapan mental terhadap diri Anda. Bagi saya yang rumahan dan lebih suka kondisi ramai, maka siapkah wahai diri ketika nanti sang suami mancari nafkah sedang kalian berada di tempat yang jauh dari kampung halaman. Siapkah Anda jika ternyata Tuhan meminta Anda dan pasangan untuk lebih bersabar menanti buah hati. Atau sebaliknya, siapkah Anda untuk menjadi calon “kakek/nenek muda”? Karena baru 24 tahun sudah beranak tiga. Itu hanya contoh (dan sedikit curhat). Tentunya semua butuh proses. Okey, fix. Faktor utama niat dan kesiapan psikis (mental).

Selanjutnya, pada catatan saya saat itu, menikah dengan usia ideal (harapan saya saat itu 22tahun) berarti organ tubuh kita terutama organ reproduksi dalam kondisi yang optimal. Namun lagi-lagi, harus ada effort untuk menjaga kesehatan demi kelangsungan pernikahan yang harmonis sehat lahir dan batin. Gaya hidup serta konsumsi makanan yang bergizi menjadi modal yang baik untuk menjejaki mahligai pernikahan. Pernah dengar salah satu ustazah dengan 10 putra/putri penghafal al qur’an? Beliau mempersiapkan rahimnya untuk melahirkan sekian anak dengan cara tidak mengkonsumsi junk-food. Sebuah gaya hidup yang semakin sedikit peminatnya. Selain itu, kebiasaan buruk pun harus di-rem. Termasuk didalamnya, jangan malas mandi. Ada pasangan yang berantakan gegara bau badan. Percaya-gak-percaya silakan dicoba.

Dan yang ketiga adalah mau belajar. Karena pernikahan itu sepanjang usia. Kalau bukan pembelajar sejati maka ia akan dimakan oleh kelelahan. Sementara didalamnya pernikahan membawa banyak pahala. Belajar untuk memahami. Memahami pasangan bagi yang mendahului pernikahan dengan proses pacaran, maka jangan kaget jika banyak perilaku pasangan di pasca pernikahan yang berbeda dengan pra pernikahan. Belajar mencintai (bagi yang pacaran setelah menikah). Kalau kata orang jawa, witing tresno jalaran soko kulino. Cinta datang karena biasa. Biar menjadi luar biasa maka kita harus belajar mencintainya dalam kebiasaan membersamai pasangan. Memahami cara pasangan dalam mencintai kita pun wajib dipelajari. Silakan baca referensi lain untuk hal ini. Banyak pasangan yang hanya mencintai tapi tidak paham wujud cinta dari pasangannya. Ada pasangan yang berhambur kata-kata mesra, ada yang cukup dengan bukti tanpa kata-kata. Belajar memaafkan dan meminta maaf. Seperti dalam persahabatan, ia semakin kuat dengan adanya masalah. Bukan lurus tanpa kerikil tapi yang sukses menyingkirkan kerikil dan menggantinya dengan bebungaan wangi. Belajar memasak, memijit dan mendengar. Tiga kompetensi dasar yang dapat merekatkan hubungan. Walau sekedar basa-basi, memijit menjadi sarana yang tokcer karena ada sentuhan dan belaian sayang. Memasak supaya suami betah di rumah, walau sesekali dinner atau hang-out sangat baik untuk memanjakan istri. Mendengar. Walau laki-laki jarang ada yang cerewet atau curhat duluan tanpa diminta, tapi aspek belajar mendengar ini sangat bermanfaat ketika kita menjadi orang tua. Anak akan semakin akrab dengan kita jika kita menjadi pendengar yang baik bagi mereka. Ya, belajar, belajar dan belajar. Semoga setiap usaha kita dinilai ibadah.

Akhir kalam, bahwa takdir Tuhan adalah yang terbaik, diusia berapapun kita menikah maka itulah kehendak Yang Kuasa. Tugas kita hanya memperbaiki diri dan mengulang kembali tiga hal ideal mengenai pernikahan di atas. Mengulang niat kita, memantapkan mental psikis kita, memperbaiki kebiasaan diri demi kesehatan tubuh, dan buka hati serta pikiran untuk menjadi pembelajar sejati. Semoga pernikahan kita berkah dan berakhir di syurga Firdaus-Nya. Be samara, kawan...

#Harganas2016 #NikahIdeal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NHW Tahap Ulat: Pekan 6

Lalu kisah kami pun berlanjut... Hallow di Pekan 6 Tahap Ulat. Alhamdulillah semakin menuju ujung tahap ulat nih. Judul besarnya adalah maka...