Tahun keempat di tanah rantau yang terkenal dengan bareh nan lamak, alhamdulillah Allah masih memberikan kami kesempatan untuk terus bersyukur dan bersabar dalam berkarya. Pagi tadi ketiga putri kami bangun bersamaan. Si sulung (3 tahun 3 bulan) sembari mengusap matanya, mengulum senyum untukku. Hayo mbaa...mana do’anya? Sejurus kemudian mulut mungilnya mengucap do’a bangun tidur. Dan si kembar (2 tahun) meringik dengan mata masih kiyip-kiyip memohon sekiranya aku memberikan ASI untuk mereka. Namun segera kualihkan dengan hal lain sehingga mereka terlupa dengan keinginannya. Ya, sepekan ini mereka berdua memasuki masa penyapihan. Proses panjang yang kucoba sealamiah mungkin. Selembut yang bisa kulakukan. Dengan sounding, dengan kesepakatan dan kedisiplinan. Ah, Nak... serasa cepat sekali waktu berlalu...
Empat tahun silam, siapalah daku, gadis kampung yang langsung nikah selepas masa magang selama 10 bulan sejak diwisuda. Mendapat banyak pertanyaan dari keluarga mengapa siapa bagaimana bisa. Dan dengan ridlo Allah serta kepercayaan orang tua, maka kami tekadkan untuk memilih jalur halal dengan pernikahan di usiaku 22 tahun dan suami saat itu 23 tahun. Menikah muda menjadi pilihan kami dan tanpa pacaran. Tak lama kemudian Allah karuniakan sebenih janin di rahimku. Dalam kondisi serba prihatin dengan sisa uang magang yang tidak seberapa dan masa penempatan selepas magang (kami berdua kuliah kedinasan dan setelah magang 11 bulan kami ditempatkan di bumi Minang Sumatera Barat). Si sulung adalah guru kami. Si sulung adalah sarana kami belajar. Si sulung adalah putri yang selalu kami rindukan. Semenjak hamil, rindu kami membuncah untuk menimang seorang anak. Pun setelah lahir adiknya yang ternyata kembar, si sulung tetap kami rindukan dengan segala kelincahan dan kelucuannya. Athifah Syauqiyatu Wardah. Putri yang penuh kasih sayang yang selalu kami rindukan dan berwajah kemerahan selaksa mawar. Do’a yang tersemat dalam namanya memang Allah kabulkan bahwa si sulung sangat mencintai adik-adiknya dan kulitnya yang putih membuat dirinya nampak seperti Wardah-mawar yang kemerahan-. Alhamdulillah ‘ala kullihal... Semoga Allah memberikannya keistiqomahan dalam belajar dan menghafal alqur’an.
Tak hanya Athifah, si kembar... Asiyah dan Ashilah... Kalau dikenang kembali masa awal setelah kelahiran mereka, hanya syukur yang dapat terucap. Tanpa campur tangan-Nya, semua kisah kami serasa mustahil. Si kembar lahir di usia kandungan 37 pekan dan berat badan mereka hanya 2,3 dan 2,5 kg. Asiyah sempat muntah berwarna coklat di malam pertama kelahirannya. Selanjutnya dirawat di inkubator. Sekotak berdua. Dan di hari ketiga terpaksa kami bawa pulang karena tidak ada tanggapan signifikan oleh dokter dan keyakinan suami bahwa kedua putrinya sebenarnya sehat tapi kenapa seolah ditahan di rumah sakit. Dengan modal lampu hangat di kamar dan dikondisikan untuk tetap hangat sehingga mereka tidak kedinginan juga pemberian ASI konsisten 2 jam sekali. Alhamdulillah keluarga mendukung untuk ASI eksklusif sehingga 2 dus susu formula yang dibawakan oleh suster tidak kami berikan ke si kembar. Malahan untuk minum ibunya dengan dicampur kopi. Hehehe... Dunia per-ASI-an kami (aku dan si kembar) adalah kisah terromantis yang pernah kualami. Sebelum mereka lahir, aku beli bantal menyusui tandem. Namun saat dipraktekkan dengan si kembar, mereka malah cenderung muntah saat menyusu bersama dengan bantal. Mungkin karena masih kecil dan belum mahir mengontrol minumnya. Percobaan berbagai kemungkinan dengan menyusui tandem kami lakukan. Sampai akhirnya mendapat posisi puwenak dengan cara aku posisi setengah push-up dan mereka pakai bantal agak tinggi sehingga mengurangi kemungkinan tersedak. Enam bulan terasa laaamaaa sekali. Sembari kami menyempurnakan ASI selama 2 tahun untuk si sulung yang saat adik-adiknya lahir dia berusia 15 bulan. Saat itu Allah yang Maha Kaya menganugerahkan ASI yang mencukupi untuk ketiga putri kami. Walaupun Athifah minum ASI melalui botol.
Hari demi hari kami lalui dengan debar khawatir bagaimana tumbuh kembang anak-anakku ini. Ya, mereka kembar, tapi Allah berikan keistimewaan masing-masing. Setiap perkembangannya pun berbeda. Dari sisi motorik, Ashilah lebih tangkas daripada sang kakak kembar. Namun, untuk bicara Asiyah lebih cerewet. Meskipun kami harus menunggu selama 2 tahun sampai mereka dapat memanggil kami dengan kata “Abiii... Ummiiii”.
Pada akhirnya, hanya syukur Alhamdulillah yang terucap dengan segala perjuangan yang telah, sedang dan akan kami lalui. Apapun itu, selama kita berserah hanya pada Allah maka akan diberikan jalan keluar dari setiap masalah kita. Terimakasih ya tiga bidadari Ummi. Terimakasih membuat Ummi merasa berharga. Terimakasih untuk setiap celoteh, rengekan, ciuman dan pelukan hangat kalian. Kini sampai Allah kehendaki nafas ini berhenti maka mari Nak, kita belajar dan mengajarkan pada dunia bahwa Islam itu Indah dan jangan berhenti berkarya. Genggam Al Qur’an dalam hati dan lakukan apa yang diperintahkan Allah melaluinya. Semoga Allah meridloi kalian untuk dapat menjadi muslimah tangguh dan bermanfaat bagi umat.
#Bitread
#EmakPintar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
NHW Tahap Ulat: Pekan 6
Lalu kisah kami pun berlanjut... Hallow di Pekan 6 Tahap Ulat. Alhamdulillah semakin menuju ujung tahap ulat nih. Judul besarnya adalah maka...
-
Bismillah... Memasuki pekan ke-5 semakin seru dan makin "ooo... iya juga yaa" atau "ooh ternyata itu ada ilmunya ya..".....
-
Suara adzan bertalu bergilir. Entah berapa makhluk Allah yang telah merasakan ketenangan keteduhan dan kedamaian dari lantunan syurgawi ini....
-
Duhai Athifah, kasih sayang Ummi membersamaimu serasa singkat sekali tak terasa sudah 10 tahun lebih kamu menghiasi hari-hari Ummi Mbak Fa, ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar