Pernah diterbitkan di Padang Ekspres, 24 Desember 2018
Sesuai dengan arti secara tekstualnya, ibu adalah wanita yang telah melahirkan seseorang. Selanjutnya, sifat mendasar yang melekat padanya adalah ke-ibu-an. Bersifat seperti ibu yakni lemah lembut, penuh kasih sayang, dan sebagainya. Ibu juga menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Makhluk Tuhan yang darinya menjadi tonggak awal sebuah peradaban. Gelora semangat ini pula yang menjadikan para perempuan pejuang pergerakan kemerdekaan melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Pada Kongres Perempuan Indonesia II yang diadakan pada tahun 1935 di Jakarta, para perempuan pejuang ini berhasil membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia.
Selain itu juga menetapkan fungsi utama Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya. Tiga tahun setelahnya, pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur tertanggal 16 Desember 1959, menetapkan bahwa Hari Ibu tanggal 22 Desember merupakan hari nasional dan bukan hari libur. Namun sayang, di zaman milenial kini, tantangan Ibu Pertiwi semakin berat. Masih lekat di ingatan sekitar sebulan terakhir, dunia media sosial dan televisi dihebohkan dengan iklan salah satu e-commerce yang menampilkan adegan yang tidak tepat ditonton oleh anak-anak.
Lalu di dunia literasi, para ABG juga disuguhi fujoshi fudanshi baik dalam bentuk komik ataupun tulisan. Terasa keren ya dari namanya, tapi ternyata itu racun nyata yang mulai menggerogoti otak anak-anak kita. Fujoshi adalah sebutan untuk anak perempuan otaku yang menyukai manga, anime, novel yang bertema pasangan sejenis. Sedangkan fudanshi adalah kebalikannya atau versi anak laki-lakinya. Siapakah yang paling perhatian dengan hal ini? Ya, keresahan paparan pornografi pada anak diawali oleh kepekaan sosok ibu. Kepekaan ibu akan masa depan anak-anak yang menjadi amanahnya. Bukankah ini melemahkan mental anak kita yang sedari kecil kita didik untuk menjadi generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya?
Belum usai masalah pornografi yang menjadi ancaman bagi anak Indonesia, para ibu juga sudah memasuki masa siaga dalam memerangi bahaya LGBT yang makin berani membuka diri. Di awal 2018 tepatnya selama bulan Februari-April 2018, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat bersama Perhimpunan Konselor VCT HIV melakukan penelitian komprehensif terhadap 147 pelaku LGBT. Sebagaimana dilansir republika.co.id, penelitian ini difokuskan di 4 kabupaten/kota yakni Kota Padang, Kota Bukittinggi, Kota Solok, dan Kabupaten Solok. Hasil yang cukup mencengangkan adalah estimasi jumlah pelaku LGBT di Sumatera Barat sebesar 14.469 orang gay. Selain itu, 75 persen responden riset tersebut berusia 15-25 tahun dan 43 persen pelaku LGBT tinggal bersama orang tuanya. Kondisi yang miris ini tentu menyayat hati para ibu peradaban jika kondisi ini dibiarkan tidak teratasi.
Faktor lain yang menjadi tantangan ibu di zaman serba mahal saat ini adalah kondisi ekonomi yang menuntut istri untuk ikut bekerja demi dapur tetap mengepulkan asapnya. Berdasarkan data Sakernas 2015, BPS mengungkapkan bahwa persentase perempuan berumur 15 tahun ke atas yang bekerja seminggu yang lalu sebagian besar berstatus kawin. Secara total, persentase pekerja perempuan yang berstatus kawin sebesar 70,80 persen, sedangkan sisanya berstatus belum kawin, cerai hidup dan cerai mati. Angka ini didukung dengan sumbangan pendapatan perempuan dalam menopang penghidupan keluarga di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu variabel pembentuk Indeks Pemberdayaan Gender yang diperoleh dari BPS menyatakan bahwa pada tahun 2017, 37,4 persen pendapatan rumah tangga di Sumatera Barat merupakan sumbangsih perempuan. Sementara di Indonesia sumbangan pendapatan perempuan sebesar 36,62 persen.
Tunggu dulu, dengan sekian banyak tantangan dari luar yang mencoba menggoyahkan benteng pertahanan keluarga, masih ada tantangan internal yang dihadapi ibu milenial. Perubahan cara mendidik dan merawat anak. Dengan semakin terbukanya teknologi sosial media, para ibu dapat dengan mudah menerima informasi. Termasuk berbagai tipe ibu masa kini. Mulai dari proses pernikahan-pacaran vs ta’aruf, ibu melahirkan pravaginal vs ibu dengan seksio sesarea, ibu ASIX vs ibu susu formula, ibu MPASI homemade vs ibu MPASI instan, dan masih panjang perbandingan-perbandingan cara mendidik serta merawat anak-anak.
Sedikit banyak ini akan mempengaruhi mental ibu yang berada pada kondisi yang tidak ideal menurutnya. Belum lagi para ibu milenial yang masih belum berdamai dengan masa lalunya. Masa kecil yang sering dibentak dan kenangan buruk lainnya yang acap kembali dialaminya saat dewasa. Para psikolog menyebutnya inner child. Mengacu pada John Bradshaw (1992), inner child merupakan pengalaman masa lalu yang tidak atau belum mendapatkan penyelesaian dengan baik. Orang dewasa bisa memiliki berbagai macam kondisi inner child yang dihasilkan oleh pengalaman positif dan negatif yang dialami pada masa lalu.
Seperti motivasi alam bawah sadar lainnya, inner child juga muncul pada orang dewasa dalam bentuk perilaku atau keadaan emosi yang tidak disadari (unconscious). Tidak bisa dipungkiri bahwa psikologis ibu yang kurang sehat akan berdampak pada sikapnya dalam mendidik buah hati. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat di tahun 2015, ayah dan ibu kandung menempati posisi teratas sebagai pelaku kekerasan (28 persen dan 21 persen). Tenaga KPAI, Dr Naswardi, ME MM melalui tirto.id mengatakan bahwa di tahun 2018 terdapat 16 anak yang meninggal akibat tindak kekerasan yang dilakukan orangtua. Meski berat, menyerah bukanlah jawaban. Ibu milenial yang mengemban amanah sebagai ibu peradaban, akan memilih untuk berjuang menjadi sosok ibu tangguh di abad ke-21 ini.
Ibu milenial tidak boleh kalah update dengan putra-putrinya. Mengekang anak untuk tetap berada di rumah dalam dekapan ibu juga bukan menjadi jaminan semua tantangan itu akan terselesaikan. Ibu milenial yang tangguh adalah ibu yang tetap semangat berjuang. Ibu milenial akan berdamai dengan masa lalu, mengikhlaskan didikan yang diperolehnya dari orang tua serta memaafkan semua pihak yang pernah melukai hatinya. Membekali ibu dengan ilmu serta meningkatkan kedekatan antara ibu dan anak (bonding). Kedekatan sedari dalam kandungan lalu menjalani keterikatan emosi sedari lahir, salah satunya melalui Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
Dilanjutkan bonding di setiap masa tumbuh kembang anak. Ibu yang cerdas juga tidak meninggalkan religiusitasnya. Karena ibu memiliki senjata pamungkas yakni ucapannya yang bertuah juga doanya. Karena dijanjikan dalam kitab suci-Nya, semakin kita mendekat pada Allah dan memenuhi semua perintah-Nya maka Allah akan menyelesaikan urusan duniawi kita. Semoga kita mampu menjadi ibu tangguh yang dicintai oleh suami serta putra-putrinya serta menebar manfaat bagi masyarakat. Karena kita, ibu milenial zaman now!
Dipersembahkan untuk Ibu tercinta & Bunda mertua. Perempuan-perempuan berjasa dalam hidup saya. Jazakumulloh khoiiron katsir... Sehari kemudian... ibu harus menjalani rawat inap karena gejala struke :(
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
NHW Tahap Ulat: Pekan 6
Lalu kisah kami pun berlanjut... Hallow di Pekan 6 Tahap Ulat. Alhamdulillah semakin menuju ujung tahap ulat nih. Judul besarnya adalah maka...
-
Bismillah... Memasuki pekan ke-5 semakin seru dan makin "ooo... iya juga yaa" atau "ooh ternyata itu ada ilmunya ya..".....
-
Suara adzan bertalu bergilir. Entah berapa makhluk Allah yang telah merasakan ketenangan keteduhan dan kedamaian dari lantunan syurgawi ini....
-
Duhai Athifah, kasih sayang Ummi membersamaimu serasa singkat sekali tak terasa sudah 10 tahun lebih kamu menghiasi hari-hari Ummi Mbak Fa, ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar