Suara adzan bertalu bergilir. Entah berapa makhluk Allah yang telah merasakan ketenangan keteduhan dan kedamaian dari lantunan syurgawi ini. Ia menggema di setiap belahan bumi sesuai izin-Nya. Selesai memanggil hamba-Nya di kota A, lalu beranjak ke kota B dan seterusnya. Seolah ia adalah panggilan abadi. Eh, bukankah tak ada yang abadi di dunia yang fana ini?
Pun dengan kesedihan, kegelisahan dan segala kegundahan. Ia hadir sebagai pengingat bahwa kita adalah hamba. Ia hadir untuk memanggil kita yang mungkin tengah menjauh dari Dzat Yang Maha Kuasa. Yang Menggenggam hati makhluk-Nya. Semuanya tak terkecuali. Ia-lah Allah yang tengah mencubit diri ini. Ia-lah Allah yang tengah membelai lembut hati kita untuk lebih lapang dalam menjalani hidup ini. Bukankah setiap muslim selalu dalam pilihan terbaik? Ia berjalan diantara sabar dan syukur. Sabar ketika mengalami musibah dan bersyukur saat diberi nikmat. Namun, adakalanya dengan masalah kita menjadi bersyukur. Bersyukur karena dengan hadirnya masalah, kita mendekat pada Rabb. Bersyukur karena melalui masalah, Allah tempa kita untuk lebih dewasa.
Dahulu, mungkin ada banyak kejadian menyakitkan. Tapi, aku berusaha melihat lebih jauh. Melirik sisi-sisi di sekitar masalah. Jangan-jangan sudut pandangku terlampau sempit. Mungkin ia bukanlah masalah yang sesungguhnya! Ah iya, benar adanya. Ternyata selama ini aku yang kurang meluaskan pandangan. Aku temukan faktor kekanak-kanakan-ku yang masih mendominasi. Ternyata aku belum dewasa melihat ketidaksesuaian antara harapan dan realita. Ternyata masalahku tak ada apa-apanya dengan masalah orang lain. Ternyata masalahku terlampau kecil karena aku punya Rabb, Tuhan semesta alam. Allah 'azza wajalla.
Tiba-tiba hatiku merasa malu pada diri ini. Aku pun kembali menutup mata. Sembari menghirup oksigen sebanyak semampu kuhirup. Orang-orang yang dahulu kuanggap pernah menyakitiku kembali terngiang. Terimakasih. Terimakasih kuucapkan telah hadir menjadi hikmah dalam kehidupanku. Kini, aku ridlo atas apa yang kalian lakukan. Semua kuserahkan pada Allah. Aku tahu bahwa ini semua kehendak Allah. Wahai hati, mari kita lepaskan ia. Kita mulai lagi dengan lembaran sesuai yang Allah ridloi.
Sekelibat aku mengingat ibuku. Sosok yang selalu kuingat setelah Allah dan Rasul. Bahkan saat dijejerkan antara suami dan ibu. Terkadang, doaku lebih panjang untuk ibu. Kalau ia membaca tulisan ini, aku mohon ampun ya Pak.... Entahlah setelah membayangkan wajah ibu, hatiku lebih tenang. Wajah meneduhkan itu. Bahkan hanya dengan mengingatnya, aku merasa lebih lega. Ibu, terimakasih....
Lalu, kebahagian yang turut memberikan berwarna warni bunga di hatiku adalah suami dan anak-anak. Mereka adalah alasanku untuk bahagia. Mereka hadir dengan izin Allah untuk menyempurnakan kebahagiaanku. Terimakasih anak-anak.. Terimakasih suamiku.
Kembali kuhirup udara malam ini.... Ia menjelma seperti aromaterapi. Apalagi sepanjang sore hujan turun. Aku menghidu aroma tanah yang menenangkan. Wanginya menyeruak mengingatkanku pada masa kecil yang bahagia. Berlarian di bawah rintik hujan. Saat hujan mereda, aku akan menepi di dekat pohon soka milik tetangga. Aku petik salah satu benang sarinya. Kuhisap manis bunganya. Oh, dengan mengingatnya saja aku masih terbayang rasa manis itu. Terimakasih telah hadir menjadi sudut terindah dalam kehidupanku.
InsyaAllah, saat ini tak ada lagi yang kusesali. Semua hadir sesuai kehendak-Nya. Menjadi pengingat dan pemanggil bagiku untuk lebih mengenal diri sendiri. Bukankah seseorang yang mengenal dirinya berarti dia tengah mengenal Tuhannya? Ya karena kita hamba Allah yang tak berdaya tanpa izin dan ridlo-Nya.
#KelasBatalyonangkatan2
#MarkasPejuangLiterasi
#MisiAsik6