Selamat Rabu Menggebu para komandan Pejuang Literasi di seluruh dunia (jiah Tika mulai deh). Alhamdulillah nih, MA7 masih bisa menyusul maksimal hari ini. Ada seribu satu alasan atas keterlambatan ini. Namun beruntung masih menyisakan satu alasan sehingga Allah meridloi artikel pembuka ini aku tuliskan. Ya, aku memang baru menemukan "klik" siang ini. Semoga yang seingkat ini layak dilanjutkan sebagai karya cerpen. Aamiin. Lanjut tidak ya???
***
Pagi yang mendung, makin erat ia peluk tas yang seharusnya berfungsi sebagai tas punggung. Udara dingin menelusup melalui sela-sela resleting jaketnya yang tidak ia tarik penuh sampai leher. Sebagai abdi negara, Atin tak ingin mengkhianati kepercayaan rakyat yang telah menggajinya dengan pajak yang dikeluarkan mereka. Terdengar klasik ya, namun begitulah adanya. Atin, tahu benar bagaimana rasanya sebagai pejuang NIP. Oleh karena itu, saat kesempatan itu mendatanginya, ia tak ingin melalaikan amanah seorang abdi negara sipil.
Setelah sekitar 30 menit perjalanan, pintu bus transjawa itu terbuka. Seolah berkata, "Selamat berbakti, Atin! Hadapi hari ini dengan semangat!". Atin melangkah setelah menyerahkan uang pas kepada kondektur. Ternyata di lokasi kerjanya rintik hujan masih menetes. Allahumma shoyyiban nafi'an, lirihnya. Payung ungu pemberian si sulung dibukanya. Ia melangkah cepat meski jam tangannya masih menunjukkan pukul 6.45, pertanda ia belum terlambat.
Sampai di teras, Atin melambatkan langkahnya. Sembari menghilangkan sisa lumpur di sepatu, ia mengemas kembali payung yang rencananya akan dikeringkan di sebelah pantry. Atin kembali merogoh kantong bajunya. Selain alerginya yang membuat hidungnya meler akibat cuaca dingin, Atin menarik beberapa lembar tisu kering untuk mengelap sepatu pantofelnya juga. Walaupun usianya sudah separuh baya, Atin selalu menunjukkan sikap profesional dalam berpenampilan. Beberapa teman di kantor yang usianya terpaut 20 tahun di bawahnya saja sampai terheran-heran. Sebagian bahkan mengatakan bahwa Atin pantas menjadi role model ASN profesional.
Alhamdulillah, sampai juga. Atin menjatuhkan badannya ke kursi putar. Ia ingat harus segera memberi kabar pada suami bahwa dirinya sudah sampai dengan selamat.
[Pak, Ibu sudah sampai. Sedikit gerimis tapi aman semua.]
Tak lama kemudian, aplikasi hijaunya memberitahukan notifikasi.
[Syukurlah. Diminum air rendaman ketumbar-nya ya. Semoga sudah pas hangatnya. Tadi Bapak pakai air mendidih. Tak usah langsung buka laptop, berolahragalah sebentar di ruangan.]
Ah, suaminya itu manusia unik. Lelaki romantis yang sudah 31 tahun membersamainya dalam suka dan duka. Lelaki itu mungkin tidak bekerja alias pengangguran sejak 23 tahun yang lalu. Namun, Atin selalu merasakan cinta sang suami yang membuatnya selalu ikhlas berbakti. Romantis bagi Atin adalah saat mengantarkannya ke halte bus transjawa, lelakinya merelakan jas hujan demi si istri supaya tidak terkena air hujan. Romantis baginya adalah saat sepanjang malam suaminya tak tidur demi menanti dirinya kembali sehat. Maklum, Atin adalah survivor stroke. Jika pulang kantor terlalu sore, terkadang malam harinya Atin merasakan berat pada tubuh sebelah kanan.
Oh iya, netizen budiman, jangan kau sebut suami Atin sebagai lelaki tidak bertanggung jawab. Asal kau tahu saja. Ada banyak hikmah pada setiap takdir Ilahi. Lika liku hidup telah mereka lalui berdua. Kini, mereka tengah menikmati kisah hari tuanya sesuai apa yang Tuhan inginkan, dengan hati bahagia, ikhlas, tanpa keluh kesah. Atin sudah terbiasa mengalami rollercoaster-life-cycle dalam hidupnya. Bahkan sejak ia masih kanak-kanak.
Maukah kau kuceritakan sedikit kisahnya? Atin, nenek 5 cucu yang selalu membawa senyum pada setiap orang yang berjumpa dengannya. Atin, sosok ibu yang kini terpisah jarak dengan anak cucunya. Namun, selalu ada tatapan optimis akan kehadiran mereka meski pandemi semakin mengganas.
***
Atin meloncat girang saat hasil ujian yang terpampang di papan pengumuman BKD (Badan Kepegawaian Daerah) menunjukkan bahwa ia lulus sebagai calon pegawai negeri sipil. Perjuangannya 7 kali ujian CPNS akhirnya membuahkan hasil. Saking senangnya, ia hampir saja menginjak kaki mungil gadis cilik di sebelahnya.
"Adek, Ibu akhirnya lulus Nak! Terimakasih ya atas doa-doa Adek juga Mbak. Kita pulang sekalian mampir membeli es kotak yuk!"
Senyum merekah di wajah putri bungsunya. Bagi keluarga kecil Atin, es krim adalah jajanan yang mewah. Tak apalah pikirnya, sebagai rasa syukur atas pencapaiannya. Ia juga berniat membuat nasi kuning untuk dibagikan pada sanak saudara dengan gaji pertamanya kelak.
Bukan hal mudah, menjalani multiperan dalam hidupnya. Atin sudah hampir 11 tahun menjadi honorer Tata Usaha di salah satu sekolah menengah di kotanya. Gajinya selama ini selalu tambal sulam dengan hutangnya jika ada hal yang tiba-tiba terjadi, entah itu anaknya sakit atau kebutuhan mendesak lainnya. Sedari pukul 3 pagi Atin menyiapkan keperluan keluarganya. Suaminya sigap membantu. Namun tetap saja, marwah lelaki di lingkungan keluarganya menyebut bahwa lelaki pantang ke dapur. Beruntung, suami Atin masih berkenan membantu menjemur pakaian dan memandikan si bungsu saat pagi hari.
Sebagai tulang punggung keluarga, Atin harus berangkat bekerja pagi-pagi sekali dengan diantar suami menggunakan sepeda ontel. Sebelum menunggu bus di perempatan jalan besar di dekat rumahnya, mereka mengantarkan si bungsu ke TK terlebih dahulu. Sementara putri sulungnya yang sudah kelas 2 SMP tinggal bersama mertuanya.
.... bersambung
#misiasik7
#kelasBatalyon2
#pejuangliterasi
#hessakartika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar